Rabu, 15 Desember 2010

Keutamaan Puasa di Hari Asyura (10 Muharram)


Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]

Hadits yang Pertama

عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits yang Kedua

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)

Hadits yang Ketiga

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.

Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.

Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]

Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:

1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.

2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]

3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]

Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)

CATATAN KAKI:

[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)

Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:

“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .

“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”

Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.

لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-

“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))

[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)

[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.

Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.

Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)

[4] (lihat no. 3)

[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.

Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)

Wallaahu a’lam.

Minggu, 05 Desember 2010

Nasehat Bijak : 110 Ahlak Islam Menuju Kesempurnaan Iman

1. Jauhkan diri dari dosa-dosa yang besar terutama syirik;
2. Lakukan shalat dengan ikhlas dan khusyu;
3. Lakukan shalat fardhu di awal waktu, berjamaah dan sedapat mungkin di Masjid;
4. Bersihkan harta dari hak-hak orang lain dengan zakat, infak dan shadaqah;
5. Biasakan shalat malam dan shalat dhuha;
6. Perbanyak baca Al Qur’an, dzikir dan do’a kepada Allah;
7. Lakukan puasa wajib dan puasa sunat;
8. Lakukan ibadah haji dan umrah apabila sudah mampu;
9. Sering-sering bershalawat kepada nabi;
10. Cintailah keluarga Nabi Muhammad SAW;
11. Biasakan istighfar dan taubat kepada Allah;
12. Sayangi, didik dan cukupi kebutuhan keluarga serta bahagiakan selalu anak dan istri/suami;
13. Sayangi dan santuni fakir miskin dan anak yatim;
14. Hormati dan sayangi tetangga;
15. Bergaulah dan berkumpulah dengan orang-orang shaleh;
16. Sering bangun di penghujung malam, berdoa dan beristighfar;
17. Laksanakan shalat sunnah rawatib sebagai pengiring shalat fardhu;
18. Maafkan orang lain yang berbuat salah kepada kita;
19. Jangan ada rasa takut kecuali hanya kepada Allah;
20. Jangan durhaka kepada orang tua dan membunuh;
21. Jangan berzina;
22. Jangan membiasakan diri melakukan dosa-dosa kecil;
23. Jangan sombong, takabur dan besar kepala;
24. Berlakulah adil dalam segala urusan;
25. Jangan campuri harta dengan harta yang haram;
26. Jangan sakiti perasaan ayah dan ibu;
27. Hiasi rumah dengan bacaan Al-Quran;
28. Perbanyaklah & menyambung silaturahmi dengan saudara, tetangga dan sahabat;
29. Jangan sombong kalau memperoleh kesuksesan;
30. Jangan tamak/ pelit kepada harta;
31. Tutup aurat sesuai dengan petunjuk Islam;
32. Jangan mencuri, manipulasi/menipu dan korupsi;
33. Santuni anak yatim dan janda yang miskin dan jangan usir orang yng meminta-minta;
34. Jangan sakiti hati dan fisik anak yatim ;
35. Banyak berkunjung ke rumah Allah (masjid);
36. Jagalah wudhu senantiasa
37. Ringankan beban orang lain dan tolonglah mereka yang mendapatkan kesulitan;
38. Jaga lidah dengan jangan melukai hati orang lain;
39. Jangan membiasakan berkata dusta;
40. Berlakulah adil, walaupun kita sendiri akan mendapatkan kerugian;
41. Jagalah amanah dengan penuh tanggung jawab;
42. Seringlah mengingat kematian;
43. Seringlah berziarah ke Kubur;
44. Doakan orangtua dan keluarga yang telah meninggal dunia
45. Cintailah seseorang dengan tidak berlebih-lebihan;
46. Jangan takut kepada mahluk/manusia;
47. Jangan marah berlebih-lebihan;
48. Bersyukur apabila mendapat nikmat;
49. Sabar apabila mendapat kesulitan;
50. Tawakal apabila mempunyai rencana/ program;
51. Ikhlas dalam segala amal perbuatan;
52. Jangan membiarkan hati larut dalam kesedihan;
53. Jangan menyesal atas sesuatu kegagalan;
54. Jangan putus asa dalam menghadapi kesulitan;
55. Jangan hasud, usil dan iri dengan kekayaan dan kesuksesan orang ;
56. Jangan terlalu ambisius akan sesuatu kedudukan;
57. Jangan hancur karena kezaliman;
58. Jangan goyah karena fitnah;
59. Jangan bekeinginan terlalu tinggi yang melebihi kemampuan diri;
60. Bersatulah karena Allah dan berpisahlah karena Allah;
61. Patuhi ulil amri/Pemimpin/Pemerintah dan hukum yang diterapkan oleh Negara;
62. Penuhi janji apabila telah diikrarkan dan mintalah maaf apabila karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuh dan jangan berkhianati;
63. Jangan mempunyai musuh, kecuali dengan iblis/syetan;
64. Jangan percaya ramalan manusia;
65. Jangan terlampau takut miskin;
66. Hormatilah setiap orang;
67. Bersihkan rumah dari patung-patung berhala;
68. Bicaralah secukupnya, jangan berbicara dengan berteriak;
69. Beristri/ bersuami kalau sudah siap segala-galanya;
70. Hargai waktu, disiplin waktu dan manfaatkan waktu;
71. Biasakan hidup bersih, tertib dan teratur;
72. Jauhkan diri dari penyakit-penyakit bathin;
73. Sediakan waktu untuk santai dengan keluarga;
74. Makanlah secukupnya tidak kekurangan dan tidak berlebihan;
75. Hormatilah kepada guru dan ulama;
76. Jangan terlalu banyak hutang dan jangan royal;
77. Jangan terlampau mudah berjanji;
78. Perbanyak senyum dan bersikap ramah;
79. Selalu ingat akan saat kematian dan sadar bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan sementara;
80. Jauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat seperti mengobrol yang tidak berguna;
81. Jangan dendam dan jangan ada keinginan membalas kejahatan dengan kejahatan lagi, balaslah dengan kebaikan;
82. Jangan membenci seseorang karena paham dan pendirian ataupun beda pendapat;
83. Jangan benci kepada orang yang membenci kita;
84. Berlatih untuk berterus terang dalam menentukan sesuai pilihan;
85. Laksanakan segala tugas dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan;
86. Hormati orang lain yang lebih tua dari kita;
87. Jangan membuka aib orang lain ataupun berburuk sangka;
88. Lihatlah orang yang lebih miskin daripada kita, lihat pula orang yang lebih berprestasi dari kita;
89. Ambilah pelajaran dari pengalaman orang-orang arif dan bijaksana;
90. Sediakan waktu untuk merenung apa-apa yang sudah dilakukan;
91. Jangan minder karena miskin dan jangan sombong karena kaya;
92. Jadilah manusia yang selalu bermanfaat untuk agama, bangsa dan negara;
93. Kenali kekurangan diri dan kenali pula kelebihan orang lain;
94. Jangan membuat orang lain menderita dan sengsara;
95. Berkatalah yang baik-baik atau tidak berkata apa-apa;
96. Hargai prestasi dan pemberian orang;
97. Jangan habiskan waktu untuk sekedar hiburan dan kesenangan;
98. Akrablah dengan setiap orang, walaupun yang bersangkutan tidak menyenangkan;
99. Sediakan waktu untuk berolahraga yang sesuai dengan norma-norma agama dan kondisi diri kita;
100. Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan fisik atau mental kita menjadi terganggu;
101. Ikutilah nasihat orang-orang yang arif dan bijaksana;
102. Pandai-pandailah untuk melupakan kesalahan orang dan pandai-pandailah untuk melupakan jasa kita;
103. Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain terganggu, dan jangan berkata sesuatu yang dapat menyebabkan orang lain terhina;
104. Jangan cepat percaya kepada berita jelek yang menyangkut teman kita, sebelum dicek kebenarannya;
105. Jangan menunda-nunda pelaksanaan tugas dan kewajiban;
106. Sambutlah uluran tangan setiap orang dengan penuh keakraban dan keramahan dan tidak berlebihan;
107. Jangan memforsir diri untuk melakukan sesuatu yang di luar kemampuan diri;
108. Waspadalah akan setiap ujian, cobaan, godaan dan tantangan. Jangan lari dari kenyataan kehidupan;
109. Yakinlah bahwa setiap kebajikan akan melahirkan kebaikan dan setiap kejahatan akan melahirkan kerusakan;
110. Jangan sukses di atas penderitaan orang dan jangan kaya dengan memiskinkan orang;

Sabtu, 27 November 2010

Menekan Faktor Penghambat Anak Menghafal Al-Qur'an



Menjadi penghafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan dan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, Allah melimpahkan banyak kebaikan dan keutamaan kepada para penghafal Al-Qur’an. Ini mengingat, seorang penghafal Al-Qur’an menjadi sebuah sarana di dunia untuk menjaga kitab suci-Nya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang akan menjaganya” (Qs Al-Hijr 9).

Namun alangkah lebih baiknya jika Al-Qur’an dihafal sejak usia dini. Karena pada masa itu otak mereka masih bersih, sehingga bagai mengukir di atas batu. Al-Qur’an bisa membuat otak anak menjadi lebih cerdas. Selain itu, seorang anak yang menghafal Al-Qur’an bisa menjadi sarana bagi orangtua mendapatkan keutamaan dari Allah. Dan tentunya, orangtua, pendidik, dan pengajar memiliki peran besar dalam mendidik anak agar mau mencintai dan menghafal Al-Qur’an.

…Selain menerapkan metode penghafalan Al-Qur’an, orangtua dan pendidik harus memahami faktor penghambat kecintaan anak terhadap Al-Qur’an…

Selain menerapkan metode penghafalan Al-Qur’an yang sesuai dengan anak-anak, para orangtua dan pendidik pun harus menyadari berbagai faktor penghambat kecintaan anak terhadap Al-Qur’an. Dalam bukunya Kaifa Nuhabbib Al-Qur’an li Abna`ina, DR. Sa’ad Riyadh menuliskan beberapa penghambat tersebut di antaranya:

1. Ketidaktahuan karakteristik pertumbuhan anak

Ketidaktahuan karakteristik pertumbuhan anak, sehingga guru atau orangtua memperlakukan anak didiknya tanpa mengetahui kondisi yang dihadapi anak. Jelas hal demikian akan memicu terjadinya kesalahan.

2. Miskin metode dan sarana pengajaran

Miskin metode dan sarana pengajaran, atau guru bersikukuh menerapkan metode pengajaran yang menyebabkan kebosanan dalam diri anak. Hal ini menyebabkan anak tidak konsisten dalam mencintai Al-Qur’an.

3. Polusi wawasan dan informasi

Polusi wawasan dan informasi yang ada di sekitar anak dapat menyibukkan hati dan daya ingat anak dengan hal-hal yang diyakininya sebagai suatu kemajuan dan modernitas. Misalnya adalah nyanyian-nyanyian dan tayangan-tayangan sinetron yang tidak mendidik. Semua hal tersebut dapat memalingkan anak dari mencintai dan menghafal Al-Qur’an.

…Polusi wawasan dan informasi yang ada di sekitar anak dapat menyibukkan daya ingat, lalu memalingkan anak dari mencintai dan menghafal Al-Qur’an…

4. Pemahaman dan paradigma guru yang keliru

Pemahaman dan paradigma keliru yang terdapat pada diri guru. Misalnya guru melakukan pemaksaan dalam mengajar, atau memberlakukan pemaksaan dalam mengajar, atau menerapkan hukuman yang keras, atau mengusik harga diri anak ketika memberikan pengarahan dan perintah. Hal-hal tadi menyebabkan anak terhalang dari kecintaan kepada Al-Qur’an.

5. Sahabat yang buruk

Secara umum, sahabat yang buruk juga menjadi faktor penyebab kegagalan anak dan menjadi penyebab negatif hubungan anak dengan Al-Qur’an. Teman yang buruk juga menjadi penyebab utama yang meruntuhkan bangunan pendidikan yang sebelumnya telah dirintis oleh orang tua atau pendidik.

6. Tidak konsisten dalam memberikan perintah dan arahan.

Hal ini akan menyebabkan reaksi negatif pada diri anak serta berpengaruh terhadap hubungan cinta antara anak dan orangtua. Dan pada gilirannya akan menyebabkan hubungan yang tidak baik antara anak dan Al-Qur’an. Contoh dari inkonsistensi pendidikan adalah ketika sang ayah bertindak disiplin dalam mengajarkan Al-Qur’an, sementara si ibu terlalu memanjakan anak, atau sebaliknya. Atau bisa juga pada satu waktu orangtua atau pendidik intens memantau perkembangan anak, namun pada di waktu lainnya mereka sepertinya tidak memberikan perhatian kepada sang anak.

Demikianlah, semoga ke depannya kita bisa lebih mumpuni dalam mendidik anak untuk menghafal Al-Qur’an. Karena salah satu amanah yang harus ditunaikan orangtua adalah menjadikan anak-anak agar mencintai dan dekat dengan Al-Qur’an; memahami serta menghafalnya. Hal ini menjadi investasi besar yang ditanamkan para orangtua untuk kelak mendapatkan keutamaan serta pahala dari Allah Ta’ala. Karena balasan Allah Ta’ala di akhirat tidak hanya bagi para penghafal dan Al-Quran saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya, dan ia dapat memberikan sebagian cahaya itu kepadanya dengan berkah Al-Qur’an.

Dari Buraidah dia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikanlah mahkota dari cahaya pada Hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ dijawab: ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Qur’an’.” (Hadits riwayat Al-Hakim dan dia menilainya shahih berdasarkan syarat Muslim [1/568], dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya [21872] dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya [3257]).

Kedua orangtua mendapatkan kemuliaan dari Allah, karena keduanya berjasa mengarahkan anaknya untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran sejak kecil. Dan dalam hadits di atas juga terdapat dorongan bagi para ayah dan ibu untuk mengarahkan anak-anaknya menghafal Al-Qur’an sejak dini.

dikutip dari www.shalihah.com

Sang 'Ghuroba' Remaja

"Diceritakan oleh seorang remaja muslimah yang tinggal di lingkungan non Islami".

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. [Hadits Muslim no. 145]

Saya tidak pernah merasa aneh saat masih bersekolah di TK -saya pikir saya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Namun tak sampai di kelas satu, saya mulai merasakan perbedaan. Ketika teman-teman saya berada di kelas musik, saya tetap bertahan di kelas kami. Saya duduk di meja saya sambil menatap kertas kepunyaan guru, bertanya-tanya mengapa saya tidak bersama dengan yang lain. Ya, saya paham bahwa musik itu haram… tapi mengapa “aku” menjadi berbeda dengan yang lain? Saya bertanya dengan pertanyaan itu berulang-ulang. Kenapa AKU? Sebulan kemudian saya merasa sedih melihat teman-teman sekolah berjalan berbaris dengan bangga di dalam ruangan hingga ke luar -dalam kostum labu, kucing, penyihir, hantu- membenci fakta bahwa aku seorang muslim yang harus berbeda. Natal, Thanksgiving, Valentine, dan Paskah tidak ada yang berbeda. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, semuanya sama.

Di rumah, setelah sekolah, saat bersama-sama dengan teman-teman Muslim di kota Iowan, perasaan itu akan hilang, dan aku berpikir pada diri sendiri bahwa menjadi seorang muslim adalah hal terbaik dalam hidup. Bukankah ayah saya menceritakan kisah Nabi Ibrahim (‘alaihissalam) tadi malam? Orang yang pada awalnya hanya sendirian dengan keislamannya. Hingga ia dapat mengenal Allah. Dan bagaimana dengan kisah-kisa hebat, Umar yang bijaksana, baik hati, lembut, Abu Bakar yang jujur, takut pada Allah, Bilal yang berani. (Dibandingkan) dengan mereka yang Santa Clause, St. Valentines, dan kelinci-kelinci Paskah? Mereka berterima kasih melalui Thanksgiving kepada Tuhan mereka, (sedangkan) kita (berterima kasih) sepanjang tahun. Tapi begitu di kelas, dikelilingi oleh teman-teman saya sesama siswa, saat mereka berceloteh dengan semangat tentang apa yang mereka punya untuk Natal, atau kemana mereka pergi saat Paskah, kisah-kisah indah itu lenyap diganti dengan kebencian pahit terhadap agama saya.

Saat kelas lima, keadaan menjadi lebih baik. Saya menjadi lebih tua, mengerti lebih sedikit, tapi perasaan itu selalu ada. Khususnya menguat ketika aku harus memulangkan undangan pesta tidur atau pesta ulang tahun dengan sopan dengan alasan aku sangat sibuk di tanggal tersebut. Atau ketika, kadang-kadang pada akhir musim semi, teman sekelas akan bertanya-tanya mengapa aku tidak pernah memakai celana pendek atau rok mini.

Hingga sekitar kelas empat, teman-temanku kebanyakan laki-laki. Sejak awal saya telah belajar, jika tak benar-benar cocok maka akan susah untuk menjadi dekat dengan anak-anak wanita. Mereka selalu membentuk kelompok, terutama di awal-awal tahun, “kelompok khusus”. Dengan teman-teman anak lelaki, tak sama. Diam-diam aku berpikir bahwa umumnya gadis-gadis itu sangat membosankan dan anak laki-laki selalu lebih menarik. Tapi saat mereka di kelas 9 dan 10, anak-anak laki-laki mulai tertarik dengan kelompok anak-anak perempuan, begitu juga sebaliknya. Sehingga, sejak saat itu, saya benar-benar di luar kelompok. Saya cocok dengan tidak bergabung pada keduanya.

Aku mulai menggunakan jilbab pada saat itu. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, itu adalah salah satu hal terhormat yang saya lakukan. Aku pergi ke sekolah yang sama sejak kelas satu sehingga orang-orang telah mengenal saya. Tidak ada kejutan karena telah terbiasa melihat ibu saya yang datang dan pergi dengan menggunakan jilbab utuh dan menganggap bahwa suatu hari nanti saya juga akan menggunakannya. Hal itu menjadi mudah bagi saya karena saya tidak terlalu perhatian terhadap penampilan, berpakaian, rambut seperti halnya anak-anak remaja di awal usia 10 dan 11 tahun.

Selama musim panas sebelum kelas 6, kami pindah ke negara lain. Orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya di rumah (home schooling), tingkat pendidikan di negara ini tidak terlalu tinggi. Alhamdulillah, karena itu adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah mereka buat. Hal ini memberikan saya satu tahun penuh untuk berpikir tentang saya sendiri dan alasan mengapa saya berada di bumi ini. Saya memiliki lebih banyak kesadaran dan pemahaman pada agama dan diri saya sendiri saat kelas tujuh, ketika karena tugas ayah saya, kami harus pindah lagi ke kota lain dan saya dimasukkan kembali ke sekolah umum. Kali ini aku ditempatkan di sebuah sekolah yang didominasi bangsa Afrika-Amerika (memiliki program bahasa, Bahasa Arab merupakan salah satu yang diajarkan), benar-benar berbeda dari sekolah “kulit putih” yang telah saya masuki selama ini. Alhamdulillaah, perubahan itu menjadi lebih baik – mereka lebih banyak menerima kaum minoritas dan perbedaan di sekolah itu. Itu bukanlah satu-satunya “perubahan untuk yang lebih baik”. Kali ini masalahku bukanlah membenci mengapa aku menjadi beda. Sekarang ada perubahan dalam diriku. Aku benci dengan cara-cara teman sekelasku bertindak, hal-hal yang mereka bicarakan, cara mereka berpakaian. Intinya adalah, aku benci dengan kaum kufaar tersebut. Akhirnya, aku mencintai menjadi berbeda.

Tahun tersebut merupakan tahun terakhir saya di sekolah umum. Orang tua saya memutuskan untuk memberikan saya home schooling, akhirnya menyadari sepenuhnya dampak dari sekolah umum. “Aku tak perlu menjadi berbeda lagi.” Aku ingat bagaimana aku begitu bersemangat menulis dalam jurnal saat di awal kelas delapan. Sedikitnya yang kutahu.

Tahun berikutnya kami pindah ke kota dengan komunitas Muslim cukup besar. Aku benar-benar senang, berpikir bahwa sekarang, sejak sekian lama, saya akan berada di tempat yang seharusnya saya berada. Saya merasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dan … tapi hanya sebagian, sedikit kurang.

Dari sekarang hingga nanti, saat saya bercerita dengan Muslim lainnya tentang pelarangan musik, atau mengapa kita tidak boleh pergi ke bioskop, atau mengapa lebih baik menggunakan jilbab dibandingkan hanya memakai rok panjang dan kemeja, atau mengapa kita harus mengikuti sunnah Nabi (shalallahu ‘alaihi wa sallam) tidak hanya Al-Qur’an, dan tiba-tiba aku mendapatkan pang, “Aku begitu berbeda, begitu aneh! Mengapa??” Kadang-kadang, ketika aku sedang duduk bersama sekelompok teman-teman muslimah seumuranku lainnya, berbicara, mungkin tertawa dan bercanda. Ketika percakapan, entah bagaimana, tiba-tiba berubah menjadi Will Smith, Madonna, tips make-up terbaru dalam (majalah) Seventeen. Tiba-tiba udara dingin seakan-akan mengalir dalam tubuh saya, saya merasa seolah-olah mereka semua satu dan aku berada di sisi lain. “Sekarang aku berada di kalangan umat Islam tapi aku masih menjadi orang luar,” pikirku saat melihat mereka.

Tapi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika aku membenci siapa aku karena aku berbeda. Sekarang aku tersenyum dan menemukan kekuatan dalam mengingat kata-kata Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wa sallam).

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. [Hadits Muslim no. 145]