Sabtu, 27 November 2010

Menekan Faktor Penghambat Anak Menghafal Al-Qur'an



Menjadi penghafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan dan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, Allah melimpahkan banyak kebaikan dan keutamaan kepada para penghafal Al-Qur’an. Ini mengingat, seorang penghafal Al-Qur’an menjadi sebuah sarana di dunia untuk menjaga kitab suci-Nya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang akan menjaganya” (Qs Al-Hijr 9).

Namun alangkah lebih baiknya jika Al-Qur’an dihafal sejak usia dini. Karena pada masa itu otak mereka masih bersih, sehingga bagai mengukir di atas batu. Al-Qur’an bisa membuat otak anak menjadi lebih cerdas. Selain itu, seorang anak yang menghafal Al-Qur’an bisa menjadi sarana bagi orangtua mendapatkan keutamaan dari Allah. Dan tentunya, orangtua, pendidik, dan pengajar memiliki peran besar dalam mendidik anak agar mau mencintai dan menghafal Al-Qur’an.

…Selain menerapkan metode penghafalan Al-Qur’an, orangtua dan pendidik harus memahami faktor penghambat kecintaan anak terhadap Al-Qur’an…

Selain menerapkan metode penghafalan Al-Qur’an yang sesuai dengan anak-anak, para orangtua dan pendidik pun harus menyadari berbagai faktor penghambat kecintaan anak terhadap Al-Qur’an. Dalam bukunya Kaifa Nuhabbib Al-Qur’an li Abna`ina, DR. Sa’ad Riyadh menuliskan beberapa penghambat tersebut di antaranya:

1. Ketidaktahuan karakteristik pertumbuhan anak

Ketidaktahuan karakteristik pertumbuhan anak, sehingga guru atau orangtua memperlakukan anak didiknya tanpa mengetahui kondisi yang dihadapi anak. Jelas hal demikian akan memicu terjadinya kesalahan.

2. Miskin metode dan sarana pengajaran

Miskin metode dan sarana pengajaran, atau guru bersikukuh menerapkan metode pengajaran yang menyebabkan kebosanan dalam diri anak. Hal ini menyebabkan anak tidak konsisten dalam mencintai Al-Qur’an.

3. Polusi wawasan dan informasi

Polusi wawasan dan informasi yang ada di sekitar anak dapat menyibukkan hati dan daya ingat anak dengan hal-hal yang diyakininya sebagai suatu kemajuan dan modernitas. Misalnya adalah nyanyian-nyanyian dan tayangan-tayangan sinetron yang tidak mendidik. Semua hal tersebut dapat memalingkan anak dari mencintai dan menghafal Al-Qur’an.

…Polusi wawasan dan informasi yang ada di sekitar anak dapat menyibukkan daya ingat, lalu memalingkan anak dari mencintai dan menghafal Al-Qur’an…

4. Pemahaman dan paradigma guru yang keliru

Pemahaman dan paradigma keliru yang terdapat pada diri guru. Misalnya guru melakukan pemaksaan dalam mengajar, atau memberlakukan pemaksaan dalam mengajar, atau menerapkan hukuman yang keras, atau mengusik harga diri anak ketika memberikan pengarahan dan perintah. Hal-hal tadi menyebabkan anak terhalang dari kecintaan kepada Al-Qur’an.

5. Sahabat yang buruk

Secara umum, sahabat yang buruk juga menjadi faktor penyebab kegagalan anak dan menjadi penyebab negatif hubungan anak dengan Al-Qur’an. Teman yang buruk juga menjadi penyebab utama yang meruntuhkan bangunan pendidikan yang sebelumnya telah dirintis oleh orang tua atau pendidik.

6. Tidak konsisten dalam memberikan perintah dan arahan.

Hal ini akan menyebabkan reaksi negatif pada diri anak serta berpengaruh terhadap hubungan cinta antara anak dan orangtua. Dan pada gilirannya akan menyebabkan hubungan yang tidak baik antara anak dan Al-Qur’an. Contoh dari inkonsistensi pendidikan adalah ketika sang ayah bertindak disiplin dalam mengajarkan Al-Qur’an, sementara si ibu terlalu memanjakan anak, atau sebaliknya. Atau bisa juga pada satu waktu orangtua atau pendidik intens memantau perkembangan anak, namun pada di waktu lainnya mereka sepertinya tidak memberikan perhatian kepada sang anak.

Demikianlah, semoga ke depannya kita bisa lebih mumpuni dalam mendidik anak untuk menghafal Al-Qur’an. Karena salah satu amanah yang harus ditunaikan orangtua adalah menjadikan anak-anak agar mencintai dan dekat dengan Al-Qur’an; memahami serta menghafalnya. Hal ini menjadi investasi besar yang ditanamkan para orangtua untuk kelak mendapatkan keutamaan serta pahala dari Allah Ta’ala. Karena balasan Allah Ta’ala di akhirat tidak hanya bagi para penghafal dan Al-Quran saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya, dan ia dapat memberikan sebagian cahaya itu kepadanya dengan berkah Al-Qur’an.

Dari Buraidah dia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikanlah mahkota dari cahaya pada Hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ dijawab: ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Qur’an’.” (Hadits riwayat Al-Hakim dan dia menilainya shahih berdasarkan syarat Muslim [1/568], dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya [21872] dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya [3257]).

Kedua orangtua mendapatkan kemuliaan dari Allah, karena keduanya berjasa mengarahkan anaknya untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran sejak kecil. Dan dalam hadits di atas juga terdapat dorongan bagi para ayah dan ibu untuk mengarahkan anak-anaknya menghafal Al-Qur’an sejak dini.

dikutip dari www.shalihah.com

Sang 'Ghuroba' Remaja

"Diceritakan oleh seorang remaja muslimah yang tinggal di lingkungan non Islami".

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. [Hadits Muslim no. 145]

Saya tidak pernah merasa aneh saat masih bersekolah di TK -saya pikir saya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Namun tak sampai di kelas satu, saya mulai merasakan perbedaan. Ketika teman-teman saya berada di kelas musik, saya tetap bertahan di kelas kami. Saya duduk di meja saya sambil menatap kertas kepunyaan guru, bertanya-tanya mengapa saya tidak bersama dengan yang lain. Ya, saya paham bahwa musik itu haram… tapi mengapa “aku” menjadi berbeda dengan yang lain? Saya bertanya dengan pertanyaan itu berulang-ulang. Kenapa AKU? Sebulan kemudian saya merasa sedih melihat teman-teman sekolah berjalan berbaris dengan bangga di dalam ruangan hingga ke luar -dalam kostum labu, kucing, penyihir, hantu- membenci fakta bahwa aku seorang muslim yang harus berbeda. Natal, Thanksgiving, Valentine, dan Paskah tidak ada yang berbeda. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, semuanya sama.

Di rumah, setelah sekolah, saat bersama-sama dengan teman-teman Muslim di kota Iowan, perasaan itu akan hilang, dan aku berpikir pada diri sendiri bahwa menjadi seorang muslim adalah hal terbaik dalam hidup. Bukankah ayah saya menceritakan kisah Nabi Ibrahim (‘alaihissalam) tadi malam? Orang yang pada awalnya hanya sendirian dengan keislamannya. Hingga ia dapat mengenal Allah. Dan bagaimana dengan kisah-kisa hebat, Umar yang bijaksana, baik hati, lembut, Abu Bakar yang jujur, takut pada Allah, Bilal yang berani. (Dibandingkan) dengan mereka yang Santa Clause, St. Valentines, dan kelinci-kelinci Paskah? Mereka berterima kasih melalui Thanksgiving kepada Tuhan mereka, (sedangkan) kita (berterima kasih) sepanjang tahun. Tapi begitu di kelas, dikelilingi oleh teman-teman saya sesama siswa, saat mereka berceloteh dengan semangat tentang apa yang mereka punya untuk Natal, atau kemana mereka pergi saat Paskah, kisah-kisah indah itu lenyap diganti dengan kebencian pahit terhadap agama saya.

Saat kelas lima, keadaan menjadi lebih baik. Saya menjadi lebih tua, mengerti lebih sedikit, tapi perasaan itu selalu ada. Khususnya menguat ketika aku harus memulangkan undangan pesta tidur atau pesta ulang tahun dengan sopan dengan alasan aku sangat sibuk di tanggal tersebut. Atau ketika, kadang-kadang pada akhir musim semi, teman sekelas akan bertanya-tanya mengapa aku tidak pernah memakai celana pendek atau rok mini.

Hingga sekitar kelas empat, teman-temanku kebanyakan laki-laki. Sejak awal saya telah belajar, jika tak benar-benar cocok maka akan susah untuk menjadi dekat dengan anak-anak wanita. Mereka selalu membentuk kelompok, terutama di awal-awal tahun, “kelompok khusus”. Dengan teman-teman anak lelaki, tak sama. Diam-diam aku berpikir bahwa umumnya gadis-gadis itu sangat membosankan dan anak laki-laki selalu lebih menarik. Tapi saat mereka di kelas 9 dan 10, anak-anak laki-laki mulai tertarik dengan kelompok anak-anak perempuan, begitu juga sebaliknya. Sehingga, sejak saat itu, saya benar-benar di luar kelompok. Saya cocok dengan tidak bergabung pada keduanya.

Aku mulai menggunakan jilbab pada saat itu. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, itu adalah salah satu hal terhormat yang saya lakukan. Aku pergi ke sekolah yang sama sejak kelas satu sehingga orang-orang telah mengenal saya. Tidak ada kejutan karena telah terbiasa melihat ibu saya yang datang dan pergi dengan menggunakan jilbab utuh dan menganggap bahwa suatu hari nanti saya juga akan menggunakannya. Hal itu menjadi mudah bagi saya karena saya tidak terlalu perhatian terhadap penampilan, berpakaian, rambut seperti halnya anak-anak remaja di awal usia 10 dan 11 tahun.

Selama musim panas sebelum kelas 6, kami pindah ke negara lain. Orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya di rumah (home schooling), tingkat pendidikan di negara ini tidak terlalu tinggi. Alhamdulillah, karena itu adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah mereka buat. Hal ini memberikan saya satu tahun penuh untuk berpikir tentang saya sendiri dan alasan mengapa saya berada di bumi ini. Saya memiliki lebih banyak kesadaran dan pemahaman pada agama dan diri saya sendiri saat kelas tujuh, ketika karena tugas ayah saya, kami harus pindah lagi ke kota lain dan saya dimasukkan kembali ke sekolah umum. Kali ini aku ditempatkan di sebuah sekolah yang didominasi bangsa Afrika-Amerika (memiliki program bahasa, Bahasa Arab merupakan salah satu yang diajarkan), benar-benar berbeda dari sekolah “kulit putih” yang telah saya masuki selama ini. Alhamdulillaah, perubahan itu menjadi lebih baik – mereka lebih banyak menerima kaum minoritas dan perbedaan di sekolah itu. Itu bukanlah satu-satunya “perubahan untuk yang lebih baik”. Kali ini masalahku bukanlah membenci mengapa aku menjadi beda. Sekarang ada perubahan dalam diriku. Aku benci dengan cara-cara teman sekelasku bertindak, hal-hal yang mereka bicarakan, cara mereka berpakaian. Intinya adalah, aku benci dengan kaum kufaar tersebut. Akhirnya, aku mencintai menjadi berbeda.

Tahun tersebut merupakan tahun terakhir saya di sekolah umum. Orang tua saya memutuskan untuk memberikan saya home schooling, akhirnya menyadari sepenuhnya dampak dari sekolah umum. “Aku tak perlu menjadi berbeda lagi.” Aku ingat bagaimana aku begitu bersemangat menulis dalam jurnal saat di awal kelas delapan. Sedikitnya yang kutahu.

Tahun berikutnya kami pindah ke kota dengan komunitas Muslim cukup besar. Aku benar-benar senang, berpikir bahwa sekarang, sejak sekian lama, saya akan berada di tempat yang seharusnya saya berada. Saya merasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dan … tapi hanya sebagian, sedikit kurang.

Dari sekarang hingga nanti, saat saya bercerita dengan Muslim lainnya tentang pelarangan musik, atau mengapa kita tidak boleh pergi ke bioskop, atau mengapa lebih baik menggunakan jilbab dibandingkan hanya memakai rok panjang dan kemeja, atau mengapa kita harus mengikuti sunnah Nabi (shalallahu ‘alaihi wa sallam) tidak hanya Al-Qur’an, dan tiba-tiba aku mendapatkan pang, “Aku begitu berbeda, begitu aneh! Mengapa??” Kadang-kadang, ketika aku sedang duduk bersama sekelompok teman-teman muslimah seumuranku lainnya, berbicara, mungkin tertawa dan bercanda. Ketika percakapan, entah bagaimana, tiba-tiba berubah menjadi Will Smith, Madonna, tips make-up terbaru dalam (majalah) Seventeen. Tiba-tiba udara dingin seakan-akan mengalir dalam tubuh saya, saya merasa seolah-olah mereka semua satu dan aku berada di sisi lain. “Sekarang aku berada di kalangan umat Islam tapi aku masih menjadi orang luar,” pikirku saat melihat mereka.

Tapi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika aku membenci siapa aku karena aku berbeda. Sekarang aku tersenyum dan menemukan kekuatan dalam mengingat kata-kata Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wa sallam).

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. [Hadits Muslim no. 145]

Jika Impian Hancur Berantakan

"Hancur sudah impian saya. Apa yang bisa saya lakukan?” Tidak asing membaca kalimat ini? Setidaknya kalimat yang senada. Dan ini adalah wajar, tidak semua yang kita impikan akan tercapai meski kita sudah ikhtiar dengan optimal. Banyak kemungkinan mengapa impian kita hancur.

Bisa jadi Allah menunjukan kepada kita, bahwa impian kita itu bukan yang terbaik bagi kita. Bisa jadi Allah memberikan hikmah kepada kita lewat kehancuran impian Anda. Bisa jadi Allah menguji kita. Bisa jadi Allah akan memberi sesuatu yang jauh lebih baik dibanding impian kita. Bisa jadi …. yah, banyak sekali kemungkinan.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah:216)

Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita bersikap saat impian kita hancur berantakan. Banyak orang yang berhenti, menyerah, dan hanya mengeluh. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali sakit hati yang semakin menggunung. Mereka beranggapan bahwa mereka tidak lagi perlu bermimpi karena mimpi mereka sudah hancur.

Tidak, sahabatku. Kata siapa impian itu hanya satu? Kita bisa membangun impian yang lain dan mengejarnya lagi. Ingatlah apa yang Anda impikan selama ini bukanlah satu-satunya impian. Dan juga belum tentu yang terbaik. Atau…

Kata siapa cara meraih impian cuma satu? Jika satu cara salah, kita bisa coba cara lain. Mungkin juga kita kurang optimal dalam meraih mimpi. Mungkin strategi kita salah, maka rumuskan strategi baru. Mungkin taktik kita salah, maka rancanglah taktik baru.

Berhenti adalah cara pasti untuk gagal. Lebih parah lagi, berhenti akan menjadikan kita tidak lagi menggampai mimpi-mimpi yang lain. Jika impian Anda hancur berantakan, maka bangunlah mimpi baru dan/atau lakukan cara baru dalam meraihnya.

Sebagai penutup, mari kita renungkan hadits berikut:

Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperoleh kebaikan dia memuji Allah dan bersyukur. Bila ditimpa musibah dia memuji Allah dan bersabar. Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal walaupun dalam sesuap makanan yang diangkatnya ke mulut isterinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)