Sabtu, 30 Mei 2009

PII antara Heroisme Masa Lalu dan Realitasnya Masa Kini

Oleh : Zulkifli Hasibuan[1]

Tulisan ini dibuat pada tanggal 12 Juli 2008 di Makasar. Tulisan yang berjudul “PII antara Heroisme Masa Lalu dan Realitas Masa Kini” telah memalui finishing mancoba untuk dihidangkan di hadapan kawan-kawan seluruh Indonesia. Dan terpenting semoga kita bisa mengambil hikmah di setiap apa yang kita lalui termasuk ketika kita aktif di PII. Selamat menikmati.

Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia adalah ekspresi optimisme PII akan tewujudnya masyarakat yang Islami dimuka bumi. Hal ini merupakan keyakinan PII akan terwujutnya masyarakat berperadaban yang dibentuk melalui proses pendidikan tersebut. Membangun masyarakat peradaban sejatinya adalah membentuk manusia yang berilmu pengetahuan alias manusia beradab. Proses pendidikan PII tidak sekedar menciptakan manusia sosial tetapi berorientasi pada nilai-nilai Islam sedangkan tujuan pendidikan menurut islam menciptakan manusia yang baik atau manusia terpelajar. Syed Muhammad Naquib Al-Attas seorang pemikir kontemporer muslim mendefenisikan manusia terpelajar adalah orang baik, dan baik yang dimaksud di sini adalah adab dalam arti yang menyeluruh yang meliputi spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itu maka orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefenisikan al-attas sebagai orang yang beradab.

Dalam konsep kaderisasi PII, kader diproyeksikan mampu men-transformasi-kan idealita PII dengan jalan terlibat secara aktif dalam menjawab tantangan dan memecahkan problematika yang dihadapi oleh organisasi, bangsa Indonesia, dan umat manusia. PII mencoba mendesain kader yang pada hakekatnya disiapkan untuk mengemban tugas masa depan dengan kemampuan, kualitas dan kualifikasi tertentu. Kader merupakan kekuatan inti organisasi dan umat Islam untuk menjadi pelopor, penggerak dan penjaga misi perjuangan guna mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil Aalamin. Idealitas kader merupakan konseptualisasi dan kristalisasi dan pemahaman tentang konsepsi manusia dan tujuannya (baca : Khittah perjuangan)

Diakui apa tidak eksistemsi PII tidak bias dipisahkan dengan pergolakan politik dan kondisi sosiohistoris bangsa ini. Abdul Qadir Jaelani dalam tulisannya yang berjudul “Peranan Pelajar Islam Indonesia dalam Orde Baru dan Latar Belakang Sistem Trainingnya” mengatakan bahwa keterlibatan dan pertisipasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di dalam kebangkitan orde baru adalah sangat besar dan penting. Peranan itu bukan saja lahir disaat-saat gagal diruntuhkannya G 30 S/PKI tahun 1965, tetapi jauh sebelum kudeta komunis itu, yaitu semenjak oerde lama yang otoriter dan komunistis berdiri. Tahun 1950-an PII bersama rakyat melahirkan gerakan sparatisme sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap kepemimpinan soekarno. Belum lagi ketika pamor soekarno turun pasca mundurnya Hatta sebagai wakil presiden, untuk mengembalikan pamor itu Soekarno mengunakan cara yang dictator. Sedangkan Demokrasi terpimpin dinilai merupakan eufimisme (bahasa halus) dari absolutisme kekuasaan, yang kemudian dipertegas dengan pengangkatan sebagai presiden seumur hidup. Tidak kalah menarik ketika Souharto memimpin bangsa ini, diskriminasi terhadap kelompok idiologi mayoritas mewarnai kepemimpinannya. Abdul Azis Thaba mencatat ada lebih kurang tujuhkebijakan Soeharto yang tidak berpihak kepada Umat Islam, menurut Alwi Alatas dan Fifrida Deliyanti salah satunya adalah kebijakan tentang pelarangan berjilbab bagi pelajar putrid, 1982-1991. Kondisi politik pada massa orde baru sangan hegemonic, tidak bisa kita bayangkan bagaimana heroisme pemerintah ketika jilbab mulai menyebar kesekolah-sekolah, budaya militerisme yang sangat kuat, dan kristenisasi yang ekspansif. Sementara eksprasi-eksprasi penolakan dan perlawanan PII terhadap hegemoni Negara dan pemerintah lahir tiap waktu dan mulai redup pasca tumbangnya rezim orde baru yang telah memimpin selama 32 tahun.

Kondisi eksternal dan hadapan nyata PII, 1950-1998 ini menjelaskan makna insplisit tentang kontribusi positif PII dalam sejarah bangsa ini. Apakah gerangan yang mendorong PII untuk dapat tampil manjadi subyek didalam kebangkitan orde baru? Apakah karena faktor-faktor lingkungan semata atau memang ada kesadaran ideologis yang ditanamkan selama bertahun-tahun didalam latihan-latihan yang dimilikioleh PII? Secara subyektif faktor-faktor lingkungan memang sangat mempengaruhi penampilan PII didalam sejarah itu, tetapi lebih besar pengaruh itu disebabkan oleh faktor-faktor sistem trening yang dimilikinya dan implikasi proses transformasi nilai-nilai idealitas PII tersebut.

Pasca tahun 1998 dimana Soeharto tumbang dan masyarakat ‘Merdeka’ tidak ketinggalan entitas kecil dari umat islam yaitu PII-pun merasakan kemerdekaan dalam mengembangkan sayapnya. Kondisi polotik ini berimplikasi juga terhadap dinamika internal ditubuh PII. PII yang lahir untuk umat ini seolah kehilangan jejak, kehilangan orientasi, dan buta terhadap ‘rival’ yang menjadi hadapan relitasnya. Kondisi PII tahun 1966-1998, selalu muncul dipermukaan untuk menyelesaikan realitas sosial dikalangan pelajar. Kalau embrio PII oleh Yusdi Ghojali dimunculkan atas dasar dikotominasi pendidikan dan diakhirnya melahirkan PII sampai akhir ini, maka kita oatut merefleksikan eksistensi kita sebagai kaderdan sebagai bagian dari sistem yang memproduksi kakrakter kita, karena kondisi kita relative lebih nyaman, dan dalam kondisi ini juga kita dapat pernah merasakan bagaimana tersiksanya diintimidasi, diinterogasi, dibunuh ruang kreativitasnya, atau lain-lain yang bersifat hegemonik, dan bahkan kita tidak pernah merasakan terpanggil untuk merespon problematika umat ini, atau bias saja hari ini kita berada dititik kronis bahwa kita dan PII sedang mencari jati diri kita kembali. Kita tidak pernah sedikitpun untuk merespon masalah-masalah keummatan, kita juga tidak punya data tentang kondisi pelajar kontemporer, atau bahkan kita tidak pernah tahu seperti apa wajah struktur kita, dan bagai mana implementasi kaderisasi kita. Anis Matta dalam buku menikmati demokrasi mengatakan kita tidak akan pernah menang ketika analisa kekuatan kita dibacaan terhadap kondisi lawan tidak jelas. Kita terlebih dahulu menjustifikasi kita menang tanpa mengetahui seberapa besarnya kekuatan rival yang akan kita lawan, dan sering kita pesimis tanpa alas an padahal kita jauh lebih memiliki kekuatan dari pada lawan kita.

Kita coba melihat kembali bentukan kader masa lalu, kita bias menemukan Ibrahim Zarkasi yang menjadi salah satu presidium Kongres I umat Islam yang melahirkan panca cita (baca : Djayadi Hanan, 2005), kita bias melihat sosok Muh. Rum, M. Natsir, Abdul Kahar Mudzakar, dan lain-lain yang memang mereka tidak pernah berkecimpung secara structural tetapi mereka secara tidak langsung berinfiltrasi dalan konsepsi yang membentuk karakter kader PII. Tetapi satu yang harus kita sadari bahwa mereka lahir ketika kondisi bangsa ini tidak senyaman hari ini, mereka lahir ketika realitas sosial waktu itu membutuhkan aluran tangan mereka. Berarti bahwa kepemimpinan personal mereka diakui atasdasar perjuangan mereka dalam kondisi yang serba hegemonik. Bagaimana dengan kita hari ini?

Dengan realitas ini, sepertinya kita butuh peninjauan konsepsi kaderisasi tentang sifat kader yang melekat dalam setiap proses kaderisasi yang dilalui oleh kader. Kita mencoba tidak particular melihat setiap implikasi yang muncul dipermukaan tetapi menatapnya secara konferehensif dan mengkaji kausalitasnya. Degradasi kualitas kader ini kita tarik kepada suatu yang melatar belakangi semua ini muncul, dalam konteks ini kita akan melihat seperti apa PII memandang. Ada beberapa sifat kader PII dalam kaca mata konsep kaderisasi PII :

1. muslim, dalam arti memiliki sifat ketundukan hanya kepada Allah dalam arti konsepsi dan cara pandang, sikap, dan aktualisasi berada dalam garis bimbingan oleh ridha Allah.
2. Cendekia dalam arti meneladani sifat fathonah nabi, sehingga memiliki wawasan dan antisipasi yang luas serta kerangka metodologi yang kuat sehingga dapat menagkap dan memahami kebenaran, mengkonsetualisasi dan mengaktualisasikannya secara konferehensif, cendikia berarti kader PII akan mampu memahami Islam berbagai hal dengan dinamis.
3. Kepemimpinan berarti memiliki sikap dan kemampuan sebagai seorang pemimpin yang berani dan bertanggung jawab, yang mampu mengambil keputusan secara tepat dan mengelola potensi lingkungannya menjadi suatu yang bernilai sebagai aktualisasi kekhalifahannya.

Diatas adalah idealitas konsepsi tentang sifat kader, bagaimana dengan realitasnya? Pada tataran Implementasi praksis kita coba menggunakan pendekatan rekayasa sosial bahwa realitas hari ini akan kita sesuaikan menuju idealitas konsepsi, ataukah idealitas ini yang harus mengikuti kondisi realitas yang ada sehingga akan ada banyak dialog untuk mengsingkronkan. Tetapi sebelum itu butuh dijawab bahwa sudahkan semua menjadi ruh gerakan dan dipahami oleh seluruh kader? Kalau belum, kita perlu bijak melihat seluruh konsepsi yang dibangun untuk PII kemarin, hari ini, dan esok.

Dinamika berpikir dan ruang presepsi di PII sangat terbuka lebar, satu sisi ini positif dalam logika proses, tetapi sisi yang lain kita akan susah melakukan lompatan gerak yang sama, sehingga kita sangat substansial. Skil manajemen akan menjadi satu bagian penting untuk menarik gerakan kita pada level efektifitas dan efesiensi, karena kalau tidak kita akan cenderung superficial dalam berbagai hal dan pada akhirnya nanti kita akan meninggalkan sesuatu yang mendasar yang akan kitya perjuangkan.

Dalam berbagai hal realitas internal kader sangat multikultur, yang mudah diukur secara fisik adalah spesifik terkait karakter dan latar belakang normatifnya. Tetapi kita harus mencoba melihat titik kesamaan yang akan mengantarkan kita pada cita-cita ta’dib. Dan hari ini tahapan kita sudah tidak lagi meninjau kembali heterogenitas yang ada tetapi kembali kesesuatu yang sangat mendasaar yaitu kesamaan visi gerak, dan arah tujuan yang bermuara pada konstruksi peradaban, kalau memang gerakan kita ini diakui demikian.

Dengan berbagai konsepsi diatas kita perlu me- reoreantasi garakan kita ditingkat regional dan lokalitas kita hari ini, pekerjaan rumah kita terlalu banyak untuk umur biologis yang dimiliki kader hari ini; mulai dari proses dialektika kebijakan dengan realitas internal-eksternal, up grade kualitas personal dan struktur, responsibilitas sosial yang tentunya sesuai dengan garapan PII, serta penyiapan lapis. Beberapa tatapan diatas berharap akan menghilangkan pretensi terhadap kinerja setiap kader distuktural karena ruang waktu sangat sempit untuk waktu dialogis sehingga sangat mungkin ada langkah solutipfyang mengamini sebuah dinamika organisasi, dan dalam kondisi ini kalau boleh mengutip katanya Ruslan Ismail Mage ‘hari ini kita butuh kedewasaan intelektual bukan kesombongan intelektual’ bahwa para digma intelektual yang membungkus pikiran kita digunakan untuk hal-hal yang produktif dalam kerangka pragmatisme. Salah satu langkah solutif untuk realitas internal hari ini adalah refungsionalisasi setiap pos penting di struktur.

Karena kita adalah kelompok sosial masyarakat yang memegang peranan penting dalam mengemban amanah kesejahteraan untuk melakukan perubahan dalam membangun dan menata peradaban dan kita adalah subyek peradaban. Karena kita (kader) adalah merupakan generasi penerus bangsa dan lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan kaum terpelajar dan terdidik, lingkungan yang kondusif dan ilmiah maka dengan kedewasaan berstruktur dan latar belakang intelektual kita akan menatap PII sebagai bagian yang utuh dengan konsepsi kaderisasinya, latar belakang historisnya, bentukan karakter kadernya, dan cita-cita peradaban yang mau dibangun.
Wallahu ‘alam

[1] Ketua PK PPQ 2003, KaBid Kaderisasi PD PII Serge 04/05, Ketum PD PII Serge 05/06

1 komentar:

  1. abang zulkifli... trus solusinya apaan agar PII masa kini bangkit lagiii???

    BalasHapus

SYUKRON TELAH MEMBERIKAN KOMENTAR