Selasa, 25 September 2007

PILKADA LANGSUNG, BERKUALITASKAH?

(Pelajar Menggugat: Peran Kritis Gerakan Pelajar dalam Pilkada Sulsel)[1]

Oleh: Muhammad Aswar[2]


Pendahuluan: Pelajar dan Politik
Pelajar dalam artian yang sebenarnya, entah itu siswa ataupun mahasiswa, yang sedang dalam proses ingin tahu. Merupakan entitas sosial yang memiliki tanggung jawab moral dalam kehidupan bermasyarakat. Kontrol sosial adalah salah satu komitmen seorang pelajar untuk menunjukkan keberadaannya dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional.

5 November 2007 mendatang, masyarakat Sulawesi Selatan akan mengadakan pesta demokrasi (Pemilihan Kepala Daerah =Pilkada) yang kali ini dilaksanakan pemilihan secara langsung oleh masyarakat terhadap calon-calon Gubernurnya. Berbagai polemik, issu, komentar, kritikan dan sebagainya muncul, -bahkan dua tahun sebelum pelaksanaan pilkada.


Dari banyak kalangan memandang Pilkada langsung kali ini memiliki banyak kelebihan dan kekurangan, salah satu kelebihannya adalah jikalau dahulu (orde baru) menggunakan metode pemilihan langsung pejabat terpilih tidak memiliki keterikatan politik secara langsung dengan masyarakat. Namun kali ini dilakukan pemilihan langsung oleh masyarakat sehingga tanggung jawab moral Pejabat terpilih langsung kepada masyarakat secara umum. Tetapi timbul pertanyaan bahwa apakah pemilihan kali ini murni melihat kualitas para calon pemimpin, atau masih menggunakan lagu lama (masih terjebak pada etnisitas dan geopolitik)? Inilah salah satu diantara banyak kekurangan pilkada langsung di Sulsel.

Pelajar, sebagai kontrol sosial tentu harus ikut andil dalam pilkada November mendatang. Bukan berpartisipasi dalam politik praktis tentunya. Tetapi terlebih kepada pengejawantahan ide-ide, kritikan, komentar (dsb) terhadap proses pilkada itu sendiri, atau bahkan memberikan penilaian terhadap figur para calon.

Namun sebagai seorang pelajar (yang merupakan pemilih berpendidikan), pendidikan tentulah menjadi topik hangat dalam kaitannya dengan pilkada. Issu pendidikan gratis yang dilontarkan oleh beberapa calon dalam kampanye misalnya, atau kesejahteraan tenaga pendidik atau dan lain sebagainya mengenai pendidikan. Kemudian terlepas dari itu, kebudayaan menjadi topik yang menarik untuk di bicarakan kali ini, dengan melihat kebudayaan masyarakat sulsel yang begitu tinggi dan beragam. Tidak bisa dipungkiri “budaya politik warisan” atau etnisitas dan geopolitik masih mengakar di Sulawesi Selatan. Dua topik ini –Pendidikan dan Kebudayaan− sangat erat kaitannya untuk kita bahas dalam tema “Pelajar Menggugat; peran kritis gerakan pelajar dalam pilkada Sulsel”

Kritis terhadap Issu Pendidikan Gratis
Dalam setiap kampanye, dialog pilkada, diskusi para kandidat, atau forum-forum lain yang me-mobilisasi masa yang menjadi alat kampanye tidak asing di telinga kita lontaran-lontaran Issu pendidikan gratis oleh beberapa calon gubernur dalam pilkada sulsel. Tidak hanya itu peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik, memaksimalkan pengalokasian dana pendidikan dan lainnya dalam lingkup Sistem Pendidikan. Entah apakah ini menjadi komitmen dari calon tersebut atau hanya pemanis kampanye belaka.

Pendidikan memang sangat penting bagi sebuah Negara. Bercermin pada Negara tetangga (Malaysia) yang dulunya meminjam tenaga guru dari Indonesia namun sekarang ini sistem pendidikan mereka meningkat pesat yang berimplikasi pada kesejahteraan penduduknya terlebih pada tenaga pendidik (guru dan dosen). Atau ketika melihat bangsa yahudi yang 90% penduduknya berkualifikasi Doktor (jenjang S3), sebuah bangsa kecil yang mampu mempengaruhi dunia.

Maka tak heran ketika para calon cukup antusias menyuarakan pendidikan dalam kampanye mereka. Dalam tulisan ini penulis ingin mengkaji issu pendidikan gratis yang ditawarkan. Jika kita merunut pada UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (pasal 49 ayat 1)

Hal ini sampai sekarang tidak terealisasi, informasi terkini hanya ±6% realisasi dana pendidikan dari APBD di sulsel –sangat jauh dari standar minimal-. Yang menjadi kewajiban (peraturan perundang-undangan) saja belum terealisasi, bagaimana mungkin menjanjikan pendidikan gratis. Ini adalah harapan atau angan-angan? Ibarat bapak rumah tangga yang belum bisa memberikan rumah sebagai tempat tinggal keluarganya tapi menjanjikan mobil sebagai kendaraan sehari-hari. Atau mungkin dengan mencabut subsidi untuk Perguruan Tinggi (dengan memberlakukan BHP) dan mengalokasikan dana tersebut pada jenjang studi dibawahnya. Apakah ini solusi terbaik?. Sekali lagi ini adalah komitmen para calon Gubernur (Cagub) atau hanya pemanis kampanye belaka.

Kalaupun hal ini menjadi komitmen Gubernur mendatang dengan memanfaatkan APBD semaksimal mungkin, hal ini tidak akan maksimal kecuali gubernur terpilih merupakan representatif dari masyarakat Sulawesi Selatan, tapi kenyataannya tidak demikian. Masing-masing figur menggunakan pendekatan etnis dan geopolitik (hal ini akan kita bahas lebih lanjut).
Sementara dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Yang memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah. Sehingga bagaimanapun kebijakan-kebijakan pemerintahan nantinya akan terhambat dengan adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakannya sendiri.

Masyarakat Sulawesi Selatan dengan keragaman budaya dan tingkat kesejahteraan tantunya akan menjadi alasan pemerintah daerah (tingkat kabupaten/kotamadya) untuk menentukan kebijakannya sendiri. Bisajadi orientasi agama/moral, pendidikan, pembangunan, ketahanan, kesejahteraan dll yang menjadi prioritas. Sehingga bukan sentralisasi kekuasaan yang harus diunggulkan, tapi pendekatan emosional, wibawa, kharisma seorang Gubernur untuk merealisasikan pendidikan gratis tersebut.

Etnisistas dan Geopolitik
Mimpi akan demokrasi yang sehat. Adalah salah satu alasan terwujudnya pemilihan secara langsung oleh masyarakat untuk menentukan kepemimpinan di Indonesia. Kali ini giliran masyarakat Sulsel yang memilih pemimpinnya secara langsung.

Hal ini dipandang positif oleh berbagai kalangan, selain alasan demokrasi pilkada langsung juga dapat mempererat hubungan politik antara calon dan rakyat, berbeda dengan zaman orde baru yang menggunakan metode penunjukan langsung sehingga interaksi politik hanya terjadi antara calon dan massa pendukung.

Pilkada langsung menjadi proses pembelajaran politik bagi rakyat terutama dengan adanya dialog-dialog para kandidat (calon). Hal ini akan meningkatkan kesadaran berpolitik. Bagaimana menilai kualifikasi para calon dalam dialog-dialog tersebut atau mungkin dalam mobilisasi massa, saat itulah masyarakat dapat menilai calon pemimpinnya bukannya menghadiri kampanye hanya dengan alasan untuk mendapatkan baju kaos atau dan lain sebagainya.
Namun dari banyak pengamat juga mengatakan hal ini tidak akan maksimal (masih lagu lama) karena para pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara rasional dengan melihat kualitas para calon, tapi cenderung terikat dengan etnisitas dan geopolitik.

Dari ketiga calon: Azis Qahar Muzakar yang bergandengan dengan Mubyl Handaling[3], HM Amin Syam dengan pasangannya: Mansyur Ramli[4], dan Syahrul Yasin Limpo bersama Agus Arifin Nu’mang[5], dapat kita lihat bahwa figur-figur tersebut merupakan prototipe dari tiga etnis atau kerajaan yang pernah ada di Sulsel. Pendekatan etnis maupun geopolitik dalam pilkada kali ini sangat kental. Syahrul misalnya, yang masih kental dengan etnis makassar dan merupakan keturuan Raja Gowa. Yang tentunya akan mendapatkan dukungan lebih dari masyarakat Gowa. Begitu pula dengan Amin Syam dengan kekuatan etnis kebugisannya yang memiliki kharisma bagi masyarakat Bone dan sekitranya.

Kedua kandidat ini masih satu kepemimpinan di Pemprov Sulawesi Selatan. Begitu banyak sorotan mengenai kinerja kedua pejabat Pemprov ini karena keseringan meninggalkan kantor secara bersamaan dengan alasan dinas luar untuk melaksanakan kunjungan kerja di daerah-daerah. Namun sebenarnya sudah melaksanakan kampanye dini. Termasuk Wapres Yusuf Kalla mengungkapkan kekecewaannya kepada kedua pejabat ini karena dinilai telah melalaikan tugas. Untuk lebih fokus pada pokok permasalahan maka hal ini tidak kita bahas.

Sedikit berbeda dengan kedua saingannya Azis Qahar yang terkenal cool dalam setiap kampanye bahkan tidak ngotot dalam hal pemasangan baliho-baliho dan spanduk di jalan. Namun tidak bisa diremehkan kandidat satu ini mrmiliki kekuatan suara di Luwu tanah kelahirannya dengan bayang-bayang ketokohan ayahnya Qahar Muzakkar[6].

Memang dari ketiga calon yang muncul berasal dari kekuatan partai politik, dalam artian mereka didukung oleh partai. Walaupun keanggotaan partai tidak mengenal adanya batasan etnisitas, agama, daerah, suku dan lain-lain, tetapi kepentingan elit partai melahirkan konflik di internal partai, pengusungan calon hanya melihat popularitas figur-dengan memanfaatkan etnik misalnya-.

Nah kalau seperti ini, dimana letak pendidikan politik bagi rakyat?

Sebagai Penutup: Mobilisasi Massa jangan Dipandang Sebelah Mata
Manusia (baca=individu) sebagai makhluk ciptaan Allah swt, diciptakan dengan potensi untuk berfikir. Dalam setiap fikirnya, individu-individu ini memiliki ragam pendapat. Penilaian terhadap sesuatu menggunakan barometer yang berbeda dengan pendekatan yang berbeda pula. Itulah dinamika kehidupan. Berbeda pendapat itu biasa, namun bagaimana bersikap positif dan saling menghargai, diperlukan.

Pilkada langsung di Sulsel dengan harapan pencapaian demokrasi yang rasional, belum mampu dimaksimalkan oleh masyarakat Sulsel sendiri. Baik bagi pelaku politik (parpol) maupun objek politik (masyarakat itu sendiri). Pilkada langsung di Sulsel kali ini, apakah memiliki banyak kelebihan atau kekurangannya yang berlebih, setiap orang memiliki penilaiannya sendiri. Namun pendidikan politik sangatlah penting bagi rakyat, sehingga hak suara dapat berkualitas.
Ketika beberapa kalangan memandang negatif mobilisasi-mobilisasi massa. Maka penulis menganggap hal ini perlu sebagai pendidikan politik bagi rakyat. Biarlah rakyat yang menilai bagaimana calon pemimpinnya. Apakah konsekuen terhadap pendidikan, ekonomi/kesejahteraan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Atau apakah tukang janji, memanfaatkan fasilitas negara, curi start, anarkis, money politik dan sebagainya. Biar rakyat yang menilai.
___________________________________________________________________


[1] Disampaikan pada diskusi panel “Pelajar Menggugat: Peran Kritis Gerakan Pelajar dalam Pilkada Sulsel” PK TM 3 PW IRM Sulsel 5-12 September 2007
[2] Pj. Ketua Umum PW PII Sulsel periode 2005-2007
[3] Pejabat teras Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sulsel
[4] Kepala Balitbang Depdiknas
[5] Ketua DPRD Sulsel
[6] Tokoh Sulsel yang pernah berjuang bersama mantan presiden Soekarno mendirikan Republik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYUKRON TELAH MEMBERIKAN KOMENTAR