Kamis, 04 Oktober 2007

ANTARA LOYALITAS DAN MASA DEPAN PW PII SULSEL

oleh: Muhammad Aswar

Secercah harapan baru ketika Basic Training di Yayasan Perguruan Nasional Makassar 24-30 Sept 2007 dilaksanaan dengan sukses –dalam sudut pandang berbeda saya katakan masih perlu pembenahan. “Saya puas loh dengan Basic kali ini” kata salah seorang teman/instruktur. “Asyik, mantap abis pokoknya”. Ditambah lagi dalam seminggu itu dua kali di liput sama FAJAR, walaupun cuman di rubrik KEKER. Yang tak kalah hebohnya kekompakan, loyalitas dan semangat panitia memenej dirinya. Tanpa keluh kesah meladeni keperluan Training. Nama-nama yang dulunya jarang aktif (fadel, irfan, harli, juned, suhe, kiki, dll) justru sangat antusias bekerjasama dalam kepanitiaan. Tetap SPIRIT aja dech bagi teman-teman Pengurus Daerah… Kamu ujung tombak perjuangan kali ini.

Namun, kali ini saya tidak berceloteh tentang itu semua. Mengambil hikmah kejadian di atas. Kata loyalitas sangat mengganggu pikiran ku sebagai seorang top leader. Loyalitas. Loyalitas mungkin bisa diartikan kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Tanpa mengharapkan apapun? Pengorbanan? Sangat sulit memang yach... mengharapkan ada kader yang seperti itu, tapi memang ada dan itu sudah ada.

Dalam aktifitas keseharian, loyalitas seseorang terhadap organisasi seringkali menjadi isu yang sangat penting. Saking pentingnya, PII sendiri sebagai organisasi dakwah yang berorientasi pada pendidikan dan kebudayaan membuat forum khusus untuk menggali itu, sebelum action kepengurusan berjalan -Training Centre Kepengurusan. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan jabatan(amanah) yang diemban oleh sang pengurus itu sendiri. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang kader (baca=pengurus) masih belum memahami arti loyalitas secara sungguh-sungguh atau mongkin paham tapi “lupa” atau dilupakan atau… apalah....dan lain sebagainya.

Dalam tulisan ini Aku (saya) kepengen menggambarkan bagaimana loyalitas dan komitmen seorang Pengurus atau kader PII_lah dalam mengemban amanahnya[1] sebagai seorang /Khalifah fil ard/Pelajar/Aktifis Dakwah/Kontrol Sosial yang menjadikan PII sebagai wadahnya (dalam catur bakti: “sebagai alat perjuangan”). Sebenarnya tulisan ini berawal dari kasus-kasus (baik kasus + maupun - ) yang terjadi pada Basic Training di SMA Nasional beberapa hari lalu.

Aku Bangga Disebut-Sebut Kader PII
Tentu saja percaya diri sebagai seorang kader PII dapat mempengaruhi kinerja kepengurusan. Entah percaya secara subtansi bahwa PII merupakan alat perjuangan (bisa nge-charge hati dll) atau dengan bangga bahwa PII merupakan organisasi besar yang telah ada sejak 1947 dengan Komisariat yang menjamur di hampir seluruh Propinsi di Indonesia. Bahkan sudah punya perwakilan di Luar Negeri.

Tanpa kepercayaan diri terhadap organisasi, sulit untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Bagaimana mungkin memperjuangkan sesuatu yang tidak kita banggakan, membela yang kita anggap salah, memuji yang dari kacamata kita jelek. mengatakan 'wahh' padahal 'elleh'.

Efek dari ini semua bisa terlihat dengan adanya ucapan-ucapan: “oh mohon maaf, saya punya kegiatan di luar”, maaf saya punya amanah lain di ini dan itu… Atau yang lebih parahnya lagi sampai-sampai meninggalkan mandat/tugas di PII karena urusan organisasi lain. Ada juga yang merasa telah menemukan jalannya di organisasi/forum lain (semoga hati kita masih tetap dalam bingkai Iman dan Islam).

Semua itu tentunya karena kepercayaan diri terhadap PII telah hilang.

Antara Militansi dan Ta’asub
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Hud : 112)

Kata militansi tentunya tak asing di telinga kita. Bahkan mungkin untuk beberapa kalangan memandang sinis kata ini apalagi jika di gandengkan dengan kata Islam –Islam Militan- waah kayak teroris. Tentu militansi yang dimaksud di sini adalah militansi dalam artian yang sebenarnya: jiddiyah (kesungguhan), hamasah (semangat), dhawabit (disiplin), komitmen, dan istiqamah. Militan dalam memperjuangkan Ad-Diin ini.

Nah tentu militansi ini akan timbul ketika kita percaya bahwa PII adalah alat perjuangan, ndak mungkinlah kita berjuang dengan kesungguhan hati, komitmen dan istiqamah ketika kepercayaan diri itu tidak ada.

Militansi yang harus tumbuh pada diri setiap kader, militansi yang seimbang dan pertengahan. Tegas untuk tidak mengabaikan akhlak yang mulia serta meluruskan kesalahan tetapi tidak menyakiti perasaan saudaranya. Militansi yang totalitas, yang menuntut kesungguhan setiap kader dalam menjalankan nilai-nilai dan amanah da’wah ini.

Militansi tentunya harus dilandasi dengan niat yang lurus untuk memperjuangkan Ad-Diin ini. Menjadikan PII sebagai alat perjuangan dan bukan tujuan. Hal ini mungkin sudah basi untuk kita diskusikan, tapi sekedar mengingatkan akan niat kita di PII. Bersihkan niat sucikan hati (mumpung Ramadhan). …dan janganlah kamu melampaui batas.

Harapan Masa Depan PII Sulsel
Secara sadar tidak mungkin saya mengharap banyak pada teman semua. Mengharapkan loyalitas anggota tapi sang ketua pun tidak menunjukkan integritas sebagai imamah. Kepengen rasanya mengulang kembali waktu yang telah lewat. Menyatukan hati, membangun kekompakan, memupuk solidaritas, menuntut komitmen, dan lain sebagainya yang bisa membuat tim ini seperti buldozer yang menghantam semua yang menghalanginya. Tapi…. Tidak, tidak ada kata seandainya dalam Islam dan kita dituntut untuk berbuat hari ini dan merencanakan masa depan.

Ada harapan baru bagiku ketika bermunculan kader-kader siap tarung[2] pada Basic Training di SMA Nasional tanggal 24-30 yang lalu (senyum memandang masadepan PW PII Sulsel), walaupun diringi dengan kejengkelan dari sikap beberapa pengurus yang merupakan peluncur utama. Tapi tidak masalah, PII tidak membutuhkan kader pecundang, yang dibutuhkan adalah komitmen dan loyalitas. Kecerdasan/kualitas/kualifikasi super seorang pengurus memang dibutuhkan, tapi tanpa komitmen dan loyalitas, itu semua hampa. Militansi seorang kader, kekompakan, spirit ber-PII itu yang dibutuhkan.

Mungkin kedepannya lebih baik kita berprinsip seperti yang ada pada film “I not Stupid”: tiga orang bodoh lebih baik dari satu Einsten


___________________________________________
[1] QS. Al Ahzab: 72
[2] Meluangkan waktunya untuk mengisi kekosongan instruktur, walaupun dengan kemampuan yang terbatas

1 komentar:

  1. assalamualaikum..stlah membaca argumen anda, saya salut akan prestasi anda dan semangat anda. tapi satu pesan buat anda: good luck n tetap semangat memperjuangkan pii sulsel kedepan, tp hati2 lho akan rasa bangga.jangan sampai kita terjerumus kedalam sikap ujub.karena sifat bangga n ujub itu sangat tipis perantaranya.ok syukran be4

    BalasHapus

SYUKRON TELAH MEMBERIKAN KOMENTAR