Jumat, 26 Oktober 2007

Televisi, Matikan atau Benda Itu Jadi Monstermu

Oleh : Djoko Moernantyo

Rajiv, sebut saja begitu, adalah seorang laki-laki berusia sekitar 8 tahun. Anak ini ditemukan tidak bernyawa, dengan kepala terluka setelah diketahui terjun dari apartemennya di lantai 9. Rajiv ingin meniru Krrish, tokoh superhero televisi di India yang digambarkan bisa terbang dan menyelamatkan bumi.

Kiko, seorang anak berumur 4 tahun tiba-tiba mengatakan “Mama tidak berguna!” Kalimat yang mungkin si anak sendiri tidak tahu maknanya. Usut punya usut, ternyata pengasuhnya [baby sitter] mengajaknya nonton sinetron di televisi. Si pengasuh ini tidak sadar, “kenikmatannya” menonton sinetron “direkam” dengan baik pada memori Kiko.

Apa yang terjadi? Kekuatan kotak elektronik bernama televisi itu ternyata begitu luar biasa merasuk dalam kehidupan kita, baik anda, saya, dan anak-anak kita. Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak [minus], dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi.

Sayangnya, sampai saat ini, media televisi masih menjadi alternatif pilihan utama bagi penonton, karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan yang hingga kini masih melahirkan pengaruh yang baik dan buruk bagi perkembangan psikologis dan perilaku pemirsanya, termasuk anak-anak.

Televisi sebagai media yang memiliki sifat audiovisual mampu menghadirkan kejadian, peristiwa, atau khayalan-khayalan semata seperti film laga dari luar negeri [import] yang banyak sekali mengandung unsur kekerasan, percintaan yang telah banyak menyimpang dari budaya kita, atau sinetron-sinetron remaja dalam negeri yang cenderung mengangkat tema kekerasan, sadisme, kebencian, permusuhan, percintaan, serta gaya hidup menengah ke atas serta mendukung hidup konsumtif dan hedonisme.

Belum lagi tayangan mancanegara seperti telenovela atau video klip yang juga mengandung unsur-unsur pornografi dan pornoaksi, sehingga anak-anak dibawah umurlah yang paling cepat terpengaruh oleh tayangan televisi dengan anggapan apa yang disiarkan televisi adalah sebuah kenyataan dan kebenaran.

Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian bahkan seminar-seminar, lokakarya, symposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli di bidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media televisi. Tudingan miring mengenai kebobrokan televisi sebenarnya sudah merebak sejak kelahirannya pada era tahun 1950.

Konsumen media televisi tidak hanya para kalangan orang tua, dewasa, remaja, tetapi juga dari kalangan anak-anak. Yang dikhawatirkan dari kalangan orang tua adalah anak-anak yang belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas, karena media televisi mempunyai daya tiru yang sangat kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.

Dr. Hardiono D. Pusponegoro SpA(K), spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta memaparkan, sebuah penelitian terhadap anak di bawah 3 tahun dan 3-5 tahun yang menonton televisi. Dalam penelitian itu, anak di bawah 3 tahun melihat layar kaca itu rata-rata 2 jam sehari dan anak 3 - 5 tahun rata-rata 3 jam sehari.

Setelah berusia 6-7 tahun dilakukan penilaian. Hasilnya, setiap jam melihat TV anak di bawah 3 tahun menunjukkan penurunan uji membaca, uji membaca komprehensif, dan penurunan memori. Sebaliknya, anak 3-5 tahun memiliki kemampuan mengenal dengan membaca baik. Artinya, anak di bawah 3 tahun lebih banyak menyebabkan efek buruk kecuali kemampuan mengenal dengan membaca.

"...setiap jam melihat TV anak di bawah 3 tahun menunjukkan penurunan uji membaca, uji membaca komprehensif, dan penurunan memori."

Menurut Hardiono, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi, dan mengurut perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi, atau atensi. Otak juga berfungsi menentukan baik atau tidak. “Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja,” jelasnya di Jakarta.

“Menonton televisi saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.”

Mengutip penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement Arch Pediatr Adolesc Med 2005, Hardiono menambahkan, “Menonton televisi saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.” Dalam penjelasan Hardiono, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah.

Selain itu televisi bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengeksplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik. “Dalam riset yang saya baca ini, malah dianjurkan untuk anak di bawah usia 5 tahun, disarankan tidak usah menonton televisi sama sekali,” tegasnya. [bersambung]

dikutip dari .:kabar indonesia:.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYUKRON TELAH MEMBERIKAN KOMENTAR