Jumat, 26 Oktober 2007

Televisi, Matikan atau Benda Itu Jadi Monstermu [2]

Oleh : Djoko Moernantyo

Televisi, buruk untuk perkembangan anak.
Penelitian yang melibatkan anak-anak dari Kanada, Australia, Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi mendapatkan hasil menarik. Percaya atau tidak, anak Indonesia adalah penonton televisi terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah Kanada. “Bagaimana tidak, kita bangun tidur langsung menonton televisi, mau tidur disempatkan menonton televisi lagi. Jangan-jangan, tidur saja masih peluk televisi,” canda Dr. Hardiono.

"Percaya atau tidak, anak Indonesia adalah penonton televisi terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah Kanada."

Penelitian lain yang dilakukan Liebert dan Baron dari Inggris, menunjukkan hasil bahwa anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain dibandingkan dengan anak yang menonton program netral [tidak mengandung unsur kekerasan]. Efek jangka panjang soal kekerasan ini juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, seorang Psikolog dari Universitas Indonesia. Menurut psikolog yang sering meneliti soal perilaku kekerasan ini, semakin sering anak menonton program TV dengan muatan kekerasan maka akan semakin tinggi kecenderungan menjadi agresif saat beranjak dewasa.

“Simpelnya begini, anak-anak yang menonton program mengandung kekerasan selama 1-3 jam/hari menunjukkan perilaku agresif 3 kali lebih banyak dibandingkan anak-anak yang menonton program sejenis kurang dari 1 jam/hari."

Tayangan televisi yang mengandung kekerasan dapat meningkatkan pikiran-pikiran mengenai permusuhan pada anak dan mengurangi kecenderungan anak untuk membantu orang lain.

Pendapat serupa dengan Sarlito pernah dilontarkan oleh Professor L. Rowell Huesmann, dari University of Michigan, yang meneliti pengaruh kekerasan pada media televisi terhadap perubahan perilaku. “Efek yang ditimbulkan mungkin tidak langung, tapi akan muncul ketika si anak mulai dewasa kelak.” Pendapat ini diamini oleh Professor Jonathan Freedman dari University of Toronto Kanada, “Ilmu pengetahuan membuktikan, tayangan kekerasan itu ikut membantu melahirkan generasi pelaku kekerasan juga.”

Andrea Martinez di Universitas Ottawa Kanada pernah melakukan review komprehensif tentang ilmu kesusastraan untuk Komisi Radio-Televisi dan Telekomunikasi Kanada di tahun 1994. Dia menyimpulkan bahwa kurangnya kesepakatan bersama tentang efek media menimbulkan tiga area `tidak jelas` atau ketidakleluasaan dari penelitian itu sendiri.

Pertama, kekejaman di media sangat sulit untuk didefinisikan dan diukur. Beberapa ahli yang mengikuti `violence` atau kekejaman yang disiarkan dalam program televisi, seperti George Gerbner dari Universitas Temple, mendefinisikan tindakan kejam atau `violence act` [atau ancaman] dari melukai atau membunuh seseorang, tergantung dari metode yang digunakan secara sendiri-sendiri atau dari konteks keadaan sekitar film tersebut. Dengan demikian, Gerber memasukkan data `violence` pada film kartun. Tetapi yang lain, seperti seorang profesor dari Universitas Laval, Guy Paquette dan Jacques de GUise, secara spesifik tidak mengikutsertakan kekejaman film kartun dari penelitian mereka karena sifatnya yang komedi dan menampilkan hal-hal yang tidak realistik.

Kedua, para peneliti tidak setuju dengan tipe hubungan dari data pendukung. Beberapa memperdebatkan bahwa keberadaan kekejaman di media menyebabkan agresi pada seseorang. Yang lain mengatakan kalau hal ini berhubungan, tetapi tidak ada hubungan penyebab [hubungan akan keduanya, terjadinya agresi bisa disebabkan oleh faktor ketiga] dan yang lain mengatakan bahwa data tersebut mendukung kesimpulan bahwa tidak ada hubungan sama sekali diantara keduanya [kekejaman televisi dan agresi seseorang].

Ketiga, bahkan mereka yang setuju bahwa ada sebuah hubungan antara kekejaman yang ada di media dan agresi, tidak setuju bagaimana yang satu mempengaruhi yang lain [kekejaman di televisi mempengaruhi tindakan seseorang]. Beberapa orang mengatakan bahwa mekanisme terjadinya hal itu berdasarkan psikologi, bermula dari bagaimana kita mempelajari sesuatu. Contohnya, Huesmann mendebatkan bagaimana anak-anak mengembangkan sifat kognitif, yang menuntun tindakan mereka dengan meniru gaya pahlawan dalam televisi. Saat mereka menonton tayangan yang mengandung kekejaman, anak-anak belajar untuk memikirkan dalam hati bagaimana penggunaan kekejaman sebagai metode yang cocok untuk menyelesaikan masalah.

Kembali pada riset soal dampak televisi, dari penelitian terhadap 260 anak-anak Sekolah Dasar [SD] yang ada di Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia [YKAI] membuktikan bahwa televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan paling menghibur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa televisi menjadikan media yang benar-benar diidolakan oleh anak-anak. Anak-anak lebih bersifat pasif dalam berinteraksi dengan televisi, bahkan seringkali mereka terhanyut dalam dramatisasi terhadap tayangan yang ada di televisi.

Hal lain yang merupakan imbas dari “terpantek” menonton televisi pada anak-anak adalah munculnya gejala obesitas [kegemukan]. Dr. Endang Darmoutomo, MS, SpGK, Spesialis Gizi Klinik dari RS Siloam Gleneagles Karawaci Banten, mengatakan kecenderungan menonton telvisi terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Satu jam nonton televisi misalnya, akan meningkatkan obesitas sebesar 2%. “Pasalnya selama menonton, anak lebih banyak ngemil dan tak melakukan aktivitas olah tubuh,” sambung Dr. Endang, saat menjadi pembicara dari sudut pandang gizi.

Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. "Saat nonton telvisi atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan," ujar Dr. Endang. Saat anak nonton televisi, kalori yang dibakar hanya 36 kkal/jam, padahal apa yang dia konsumsi jauh melebihi kalori yang digunakan. "Anak perlu aktif untuk bertumbuh," tandas Dr. Endang. Disarankannya, untuk memperbanyak aktivitas luar ruang untuk anak.


Daya Tiru yang Kuat untuk Anak-anak

Mengingat sangatlah sulit bagi orangtua untuk menjauhkan anak dari televisi, ada baiknya orangtua melakukan pendampingan anak ketika menonton dan memberi penjelasan yang sebenarnya daripada tiba-tiba mengomel ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak.

Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak.

Tidak ada artinya jika kita terus menerus menyalahkan media televisi sebagai biang kerok kerusakan moral dan kepribadian anak-anak. Karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan akan terus hadir dengan segala kontroversinya di tengah-tengah kita. Mereka –televisi itu-- akan terus mempengaruhi mental, emosi, fisik dan perkembangan jiwa anak. Nah, peran orang tualah yang harus peka dan kritis terhadap tayangan-tayangan yang disajikan untuk anak-anaknya. Jangan sampai anak kita ingin menjadi “Krrish” yang bisa terbang, atau tiba-tiba memaki persis seperti di sinetron Indonesia. Pilihan Anda?

dikutip dari .:Kabar Indonesia:.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYUKRON TELAH MEMBERIKAN KOMENTAR